Cintaku yang abadi. Kata-kata ini mungkin sangat sesuai dengan kisah cintaku yang abadi. Aku adalah orang yang sulit jatuh cinta, dan sulit melupakan orang yang kucintai. Sekali aku mencintai seseorang, maka dialah yang akan kucintai hingga mati. Oleh karena itu, sampai sekarang aku tak pernah memperdulikan apabila ada laki-laki yang secara terang-terangan atau mungkin secara diam-diam menyukaiku. Dan jika ada yang menyatakan cintanya padaku aku pun tak menerimanya. Bukannya aku sok cantik, sombong atau apalah itu namanya. Tapi mau bagaimana lagi, jika hatiku tak suka maka aku akan katakan tak suka. Itulah aku. Mungkin sikapku sedikit kejam, tapi bukan maksudku mau menyakiti mereka. Aku hanya akan mengatakan iya jika hatiku juga mengatakan iya. Aku tak mau menjadi orang yang munafik, menyayangi tapi tidak sepenuh hati. Menyukai tapi tak mencintai.
Mungkin banyak orang bertanya-tanya, sebenarnya laki-laki yang seperti apa sih yang kutunggu. Pertanyaan itu jugalah yang selalu diajukan sahabatku “Anna”, setiap kali aku menolak seorang laki-laki. Dan lagi-lagi pertanyaan itu ditanyakannya saat aku dan Anna pergi ke kampus bersama-sama.
“Renate, kenapa sih kau menolaknya, kau itu sangat cantik, pintar, kaya pula, sepertinya tak ada kekurangan pada dirimu tapi, kenapa kamu itu selalu menolak setiap ada laki-laki yang menyatakan cintanya padamu, memangnya setinggi itukah kriteriamu?” tanyanya kesal padaku.
“Anna, aku kan sudah bilang berkali-kali, jika laki-laki itu kucintai pasti akan kuterima.“ kataku dengan santai.
“Ya, tapi siapa,…… pangeran?” sindirnya padaku.
“Mungkin saja kan, siapa tau kelak akan ada seorang pangeran tampan yang datang dari negeri yang sangat jauh melamarku. Pasti akan kuterima.” harapku.
“Kau pikir ini negeri dongeng. Oh…… aku tau, kamu seperti ini mungkin karena kebanyakan baca cerita dongeng, nya?” katanya menyindirku yang memang suka sekali cerita dongeng.
“Apaan sih serius nih!”
Karena asyiknya mengobrol, tak terasa ternyata kami sudah sampai dipintu gerbang Universitas yang bertuliskan Fakultas Pendidikan Kimia Universitas Friedrich Schiller, Jena, Jerman Timur. Ya, itulah kampusku. Saat aku meneruskan langkahku menuju perpustakaan, tiba-tiba dari jauh kulihat ada seorang laki-laki yang asing bagiku. Selama aku kuliah di Fakultas ini baru kulihat dirinya.“Siapa ya dia?” tanyaku spontan. Karena keherananku, tanpa kusadari aku terus memandanginya. Ia pun membalas pandanganku dengan senyuman. Aku yang penasaran mencari tau siapa dirinya dan ternyata memang benar, dia asing. Bukan karena aku tak pernah melihat dirinya sebelumnya, tapi dia memang orang asing. Menurut kabar berita dari sana-sini katanya dia warga negara Korea Utara, ehm jauh sekali kan. Kalau dipikir-pikir, dia itu seperti pangeran yang kuimpikan. Yang datang dari negeri yang amat jauh dari sini.
Siapa yang menyangka,ternyata laki-laki itu satu jurusan denganku. Alhasil aku pun sering bertemu dengannya. Waktu terasa berjalan begitu cepat, tak terasa sudah hampir satu tahun aku mengenalnya. Ternyata namanya Ok Gu, lengkapnya Hong Ok Gu. Mungkin nama itu sedikit aneh bagi warga Jerman. Tapi memang itulah namanya. Nama laki-laki yang untuk pertama kalinya membuatku jatuh cinta seperti ini. Ya, jatuh cinta. Entah kenapa aku bisa merasakan hal ini pada Ok Gu, yang jelas aku merasa nyaman sekali dan hatiku selalu bahagia saat ia berada disampingku. Jika ditanya kenapa kumencintainya aku pasti akan bilang dia baik. Kata yang selalu dikatakan seorang wanita saat ditanya alasannya mencintai seorang laki-laki. Tapi sebenarnya bukan karena hal itu juga sih. Itu semua karena “Pandangan pertama”, mungkin kata itu cocok sekali untuk kisah cintaku ini. Aku masih ingat sekali waktu aku pertama bertemu dengannya, saat itu musim semi tahun 1955. Cocok sekali rasanya cuaca saat itu dengan hatiku yang berbunga-bunga,karena bertemu dengannya. Semenjak saat itu aku tak bisa melupakannya.
Karena pertemuan intensif selama menuntut ilmu dikampus yang sama, kami merasa ada kecocokan. Tak perlu waktu yang lama untuk mengenalnya. Benih-benih cinta pun lambat laun mulai tumbuh dihati kami. Genap 1 tahun setelah pertemuan pertama kami, ia menyatakan cintanya padaku, tentu saja aku menerimanya. Semenjak saat itu kami berkomitmen sebagai sepasang kekasih. Dan setelah 3 tahun menjalin cinta dengannya, Ok Gu melamarku. Tak ada kata-kata yang mampu manggambarkan perasaanku saat itu. Aku bahagia sekali, rasanya seluruh dunia ada dipangkuanku. Karena bahagianya aku menangis seketika. Bukan air mata duka yang keluar, tapi air mata kebahagiaan.
Tak lengkap mungkin rasanya, jika kisah cinta tanpa adanya perjuangan. Itu pula yang kami alami. Kondisi waktu saat itu tidak mengizinkan kami untuk menikah, baik dilakukan di Korea Utara maupun di ibu kota Jerman Timur. Karena saat itu pemerintah melarang adanya pernikahan lintasnegara. Namun kami tak menyerah sampai disitu saja, dengan perjuangan yang gigih akhirnya pada tahun 1960 kami bisa menikah juga disebuah kota kecil di Jerman Timur.
***
Tak terasa sudah dua tahun kami menikah rasanya baru kemarin kami bertemu. Waktu berjalan begitu cepatnya. Saat itu adalah hari ulang tahun putra kami yang pertama, Peter. Cuaca hari itu buruk sekali, diluar kulihat hujan begitu besar diiringi suara angin dan petir yang bersahut-sahutan. Membuat hatiku tidak enak saja rasanya. Seperti akan terjadi hal yang buruk saat itu juga. Dan benar saja, tiba-tiba dibalik hujan lebat itu muncul sesosok laki-laki yang memberitahukan pada suamiku sebuah kabar buruk, bahwa dalam waktu 48 jam, Ok Gu harus kembali ke Korea Utara. Rasa sedih,kaget dan heran bercampur jadi satu, kenapa Ok Gu harus mendadak pergi seperti ini. Dan ternyata bukan Ok Gu saja yang terpaksa harus kembali ke Korea Utara tapi, sekitar 350 orang Korea Utara yang berada di Jerman Timur juga harus kembali ke kampung halamannya. Ini terjadi karena keadaan politik di Korea Utara sedang memanas. Kondisi yang tak terkendali inilah yang mengharuskan warga negaranya yang ada diluar, harus segera kembali.
Perpisahan ini rasanya begitu berat sekali, terlebih saat itu aku sedang mengandung anak kedua kami. Bisa dibayangkan hancurnya hatiku saat itu. Kami menangis tersedu-sedu beruaraikan air mata saat mengucapkan salam perpisahan.
“Aku pasti akan kembali Renate, percayalah!” katanya berusaha menenangkan hatiku.
“Ya, aku berjanji akan menunggumu kembali sampai kapan pun dan Ok Gu aku akan mencintaimu hingga aku mati.” kataku tanpa sadar berjanji. Seperti itu pertemuan terakhir kami saja.
Di musim panas yang penuh duka itu, aku pun mengantar kepergiannya.Kenyataannya, seiring perjalanan kereta yang membawanya, sejak itu jugalah aku kehilangan kontak dengannya. Tahun demi tahun berganti tapi ia belum kembali juga. Tak terbayangkan olehku perpisahan itu akan berlangsung puluhan tahun lamanya. Meski demikian aku tetap setia menunggunya sesuai dengan janjiku dan berharap dapat bertemu suamiku lagi, meskipun berpuluh-puluh tahun telah berlalu. Karena kesetiaanku, aku pun memutuskan tidak menikah lagi. Seluruh hidupku, kuhabiskan untuk membesarkan dua anak hasil penikahan kami. Selama hidupku ditinggalkannya aku bekerja sebagai guru dan peneliti. Usaha untuk meminta izin bertemu suamiku pada pemerintah Korea Utara pun sia-sia saja. Mereka tak mengizinkannya.
“Kenapa aku tak boleh bertemu suamiku sendiri?” kataku geram saat permintaan izinku ditolak. Namun mereka tetap bergeming.
Setelah beberapa dekade terpisah, tepatnya setelah 44 tahun kehilangan kontak, akhirnya aku mendapat kesempatan untuk saling berkirim surat dengannya. Itu pun atas bantuan pemerintah Jerman. Surat pertama untuk Ok Gu dikirim pada Maret tahun 2006. Surat itu pun dibalas pada 27 juli pada tahun yang sama. Aku sangat bahagia sekali menerima surat itu, rasanya hatiku merasakan hal yang sama saat aku dilamar oleh Ok Gu. Bagaimana tidak setelah 44 tahun aku berpisah dengan orang yang paling kucintai itu, baru sekarang aku dapat berkomunikasi lagi dengannya. Kebahagian itu semakin sempurna karena hari itu bertepatan dengan hari ulang tahunku yang ke-70.
Rasanya jantungku berhenti berdetak. Tentu dapat dibayangkan bagaimana perasaanku saat membuka surat itu. Surat yang telah kutuggu-tunggu selama 44 tahun. “Ya, Tuhan akhirnya aku bisa berkomunikasi lagi dengannya” ucapku sebagai tanda syukurku. Aku pun membaca surat itu, sambil berlinangan air mata.
Halaman pertama dari dua lembar surat yang ditulis suamiku itu berisikan tentang perasaannya yang tersentuh dengan isi surat yang aku kirim. “Aku sangat tersentuh ketika menerima suratmu. Aku berharap kamu masih mau menjadi pendamping hidupku untuk selamanya.” katanya dalam surat itu. Aku bahagia sekali membacanya karena dengan begitu artinya ia masih mencintaiku sama denganku yang akan selalu mencintainya juga. Dilembar kedua Ok Gu menanyakan keadaan Uwe, anak kedua Ok Gu yang belum pernah dilihatnya. Tapi Ok Gu juga menulis bahwa surat tersebut merupakan surat perpisahan. Aku terpukul sekali membacanya. Baru saja aku merasakan kebahagian setelah 44 tahun tak merasakannya, tapi seketika itu juga kebahagian itu telah hilang lagi. Air mata yang tadinya merupakan air mata kebahagiaan berubah menjadi air mata duka.
Ternyata memang benar semenjak saat itu aku tak pernah lagi menerima surat dari Ok Gu, aku sampai berpikir, “Apakah ini surat pertama dan terakhir yang dikrimkan Ok Gu untukku?” Ungkapku sedih. Semenjak saat itu setiap surat-surat yang kukirim tak pernah sampai tujuan, selalu kembali ke tanganku. Bahkan usaha mendatangi Kedutaan Korea Utara untuk mendapat izin bertemu suamiku pun juga ditolak. Tapi aku yakin suatu hari nanti impianku bertemu dengannya pasti akan terwujud.
Pada tahun 2007, aku mendapat kesempatan untuk berkujung ke Korea Selatan dengan harapan dapat berkunjung ke Korea Utara. Tapi, hal itu tetap tidak berhasil. Sampai pada akhirnya belakangan ini kisah cintaku megudang banyak sorotan media dan tokoh internasional. Termasuk Sekjen PBB, mantan Presiden Korea Selatan dan mantan Presiden Jerman. Para tokoh internasinal itulah yang memaksa pemerintah Korea Utara agar segera mengeluarkan izin reunifikasi keluarga lintasnegara ini. Upaya ini benar-benar mendapat perhatian setelah kisah cintaku dan Ok Gu dipublikasikan di media.
Sungguh tak disangka, akhirnya penantian dan perjuanganku ini membuahkan hasil juga, impianku terwujud. Sebentar lagi aku akan bertemu Ok Gu, suamiku yang hampir setengah abad tak kutemui. Setelah benar-benar mendapat izin aku dan kedua anakku pun segera berangkat ke Negara yang selama ini terkenal sulit memberi izin warga negara asing yang ingin berkunjung ke negaranya. Sebagai Negara komunis, Korea Utara yang dipimpin Kim Jong II dikenal sebagai pemimpin bertangan besi, sangat menutup diri dari pengaruh luar. Rakyatnya boleh dibilang secara ketat dilarang melihat dunia luar.
Aku terbilang orang yang beruntung sebab aku adalah orang asing pertama yang mendapat kesempatan bertemu dengan pasangan hidupku itu. Atas bantuan Palang Merah Korea Utara, akhirnya kami dapat bertemu, “Aku sangat bersyukur karena impianku akhirnya terwujud,” ungkapku saat menjejakan kaki di Pyongyang, Korea Utara pada 25 juli 2008. Hari ini adalah kesempatan untukku meyelesaikan sisa babak kehidupanku. Yakni menemui pria yang selama hidupku aku cintai sepenuh hati.
Detik-detik mendebarkan dalam hidupku. Aku belum pernah setegang ini sebelumnya, sebentar lagi aku akan bertemu suamiku yang hampir setengah abad kunanti kedatanganya. Aku berangkat naik mobil menuju kediaman suamiku bersama kedua anakku. Mereka terlihat begitu bahagia sama halnya seperti aku. Aku terus saja tersenyum karena senangnya, tapi tiba-tiba saja senyum itu berganti menjadi raut wajah kesakitan. Rasanya dadaku begitu sakit sekali, tak tahan rasanya. Sepertinya penyakit yang menghinggapiku belakangan ini mulai menjadi saja. Tapi, aku masih saja berusaha tersenyum didepan anak-anakku, aku tak ingin mereka khawatir.
“Bu, sebentar lagi kita sampai.” seru Peter anak pertamaku.
“Aku sangat bahagia sekali, akhirnya aku bisa bertemu dengan ayah yang belum pernah kutemui semenjak ku lahir.” seru Uwe mengungkapkan rasa bahagianya.
“Kita saja amat bahagia, apalagi ibu sebagai istrinya yang sudah hampir setengah abad tidak bertemu suaminya.” kata Peter sambil menoleh kearahku. Aku pun hanya tersenyum meringis, menahan sakit.
Akhirnya impianku terwujud. “Ok Gu aku akan mencintaimu hingga aku mati.” ucapku dalam hati mengulangi janjiku dahulu padanya. Perlahan-lahan tapi pasti rasa sakit itu semakin menjadi. Sampai akhirnya aku terlalu lelah hanya untuk membuka mataku saja. Maka aku pun tidur panjang untuk selamanya. Tidur dalam kebahagiaan karena cinta yang kuperjuangkan.